Aku Ingin merasakan sensasi seksual yang berbeda, aku mencoba menggoda burung-burung kecil di depan rumah, saya yakin ini akan jadi gila yang sekaligus sangat menyenangkan. Berikut cerita seks saya saat itu. Kisahku kali ini terjadi beberapa bulan lalu di hari Sabtu pagi. Ketika itu aku yang sedang sendirian di rumah dan tidak ada kegiatan, memulai hari dengan memanjakan diri di sofa ruang keluarga untuk melihat acara TV. Setelah aku pindah- pindah channel TV ternyata nggak ada acara yang menarik. Akhirnya aku putuskan untuk tidur- tiduran saja di kamar tidur. Rumah ini terasa sangat sepi pada saat-saat seperti ini. Maklum saja, biasanya rumahku selalu ramai oleh orangtua serta adik- adikku. Sebagai seorang wanita di usia 29 tahun, tentu aku selalu berusaha untuk merawat tubuh, baik di salon maupun di rumah. Teman- temanku sering memuji wajahku yang awet muda dan tubuhku yang mungil tapi proporsional. Namun yang sering membuatku risih adalah tatapan anak-anak SMU, yang seringkali menggoda aku. Mungkin mereka mengira aku masih seusia mereka. Apalagi saat aku memakai pakaian bebas. Rumahku terletak di daerah Cibubur yang menurutku lumayan dingin. Halaman rumahku memang tidak luas, namun di luar rumah banyak ditumbuhi pepohanan rindang. Kamar tidurku mempunyai jendela yang berhadapan langsung dengan halaman luar. Setelah merebahkan badanku beberapa lama, ternyata mata ini tidak mau terpejam. Akhirnya aku SMS-an dengan pacarku. Baru beberapa kali SMS, terdengar suara berisik dari halaman depan rumahku. Aku bangkit dan melihat keluar. Kulihat dua anak berusia berseragam SMP sedang berusaha untuk memetik buah di depan rumahku. Tentu saja aku sebagai pemilik rumah tidak senang perilaku anak-anak tersebut. Bergegas aku keluar dari kamar. Seraya berkacak pinggang aku berteriak pada mereka.
“Dik, jangan dipetik dulu nanti kalau sudah masak pasti Kakak kasih deh…!”
Tentu saja mereka berdua kaget dan ketakutan karena tidak menyangka kalau ada orang yang melihat perbuatan mereka. Kedua anak itu menundukkan wajahnya karena menyesal. Aku yang tadi hendak marah akhirnya merasa iba.
“Nggak apa-apa kok Dik, Kakak hanya minta buahnya jangan dipetik dulu. Kan masih belum matang benar… Nanti kalau adik-adik sakit perut gimana coba?” aku mencoba menghibur. Sedikit mereka berani mengangkat wajah. Dari penampilan mereka kelihatan bahwa mereka anak kurang mampu. Melihat wajah mereka mereka yang tertunduk dan menyesal akhirnya aku mengajak mereka ke dalam rumah, untuk ikut menonton TV denganku di ruang keluarga. Aku tanya kenapa pada jam-jam belajar mereka kok ada di luar sekolah. Ternyata mereka bolos dari sekolah karena sedang bosan belajar. Setelah mendapat penjelasan mereka, aku menasehati keduanya supaya jangan membolos dari sekolah lagi. Mereka hanya menganggukan kepala saja. Kemudian aku tinggal mereka sebentar mereka ke dapur untuk mengambilkan minuman. Lumayan juga pikirku, aku jadi ada teman untuk ngobrol. Dari obrolanku dengan mereka, ternyata usia keduanya masih 13 tahun, dan mereka baru saja masuk SMP.
Walaupun baru mulai masuk SMP, ternyata mereka sudah sering bolos dari sekolah. Aku menanyakan nama mereka, yang berkulit hitam dan berambut keriting bernama Ai. Sedangkan yang berkulit sawo matang dan berambut cepak bernama Adi. Keduanya memiliki badan yang kecil dan kurus. Mungkin tinggi badan mereka hanya 140 cm saja. Ketika ngobrol aku tahu mata-mata mereka sering mencuri pandang ke bagian dadaku. Aku baru sadar bahwa di dalam kaos warna krem-ku, aku tidak memakai Bra, sehingga puting coklatku terlihat jelas. Aku berpikir, biar masih kecil, namanya laki-laki itu sama saja. Semula aku tidak suka dengan perilaku mereka namun akhirnya ada perasaan lain sehingga aku biarkan mata mereka menikmati keindahan putingku dari luar. Aku menjadi menikmati tingkah laku mereka kepada diriku. Bahkan aku mempunyai pikiran yang lebih gila lagi untuk menggoda mereka, aku sengaja meregangkan tanganku ke belakang sehingga putingku pasti terlihat semakin jelas. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin salah tingkah.
Walaupun baru mulai masuk SMP, ternyata mereka sudah sering bolos dari sekolah. Aku menanyakan nama mereka, yang berkulit hitam dan berambut keriting bernama Ai. Sedangkan yang berkulit sawo matang dan berambut cepak bernama Adi. Keduanya memiliki badan yang kecil dan kurus. Mungkin tinggi badan mereka hanya 140 cm saja. Ketika ngobrol aku tahu mata-mata mereka sering mencuri pandang ke bagian dadaku. Aku baru sadar bahwa di dalam kaos warna krem-ku, aku tidak memakai Bra, sehingga puting coklatku terlihat jelas. Aku berpikir, biar masih kecil, namanya laki-laki itu sama saja. Semula aku tidak suka dengan perilaku mereka namun akhirnya ada perasaan lain sehingga aku biarkan mata mereka menikmati keindahan putingku dari luar. Aku menjadi menikmati tingkah laku mereka kepada diriku. Bahkan aku mempunyai pikiran yang lebih gila lagi untuk menggoda mereka, aku sengaja meregangkan tanganku ke belakang sehingga putingku pasti terlihat semakin jelas. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin salah tingkah.
“Hayoo..!! Pada ngeliatin apa!?” Aku pura-pura mengagetkan mereka. Tentu saja ini sangat membuat mereka menjadi semakin salah tingkah.
“Ng.. gak.. kok.. Kak Intan…” Ai membela diri.
“I.. Itu acara TV bagus Kak Intan” Adi menambahkan.
“Nggak apa-apa kok. Kakak tahu kalian sedang melihat ke dada Kakak kan?Ayo ngaku aja deh…” aku mencoba mendesak mereka.
“Eeee.. A-Anu Kak Intan…” Adi nampak akan mengatakan sesuatu.
Namun belum lagi selesai kalimat yang diucapkannya, aku kembali menimpali
“Ibu kalian kan juga punya, dulu kalian kan sering nyusu dari Ibu kalian”
“I.. Iya Kak Intan” Ai menjawab.
“Tapi sekarang kami kan sudah nggak nyusu lagi. Lagipula kamu juga udah lupa gimana rasanya nyusu…” Adi nampaknya sudah mampu menguasai keadaannya.
“Terus maksud kamu bagaimana Di?” Aku menanyakan.
“Kami pengen deh liat teteknya Kak Intan” kata Adi semakin berani.
Kata-kata tersebut membuat aku berpikiran lebih gila lagi. Gairahku yang semakin meninggi sudah mengalahkan norma-norma yang ada, aku sudah kehilangan kendali bahwa yang ada di depanku adalah anak-anak polos yang masih bersih pikirannya. Aku kemudian menatap wajah mereka semakin serius.
“Ai, Adi kalian mungkin sekarang sudah nggak nyusu lagi karena kalian sudah besar. Tapi kalian boleh kok…” aku berkata. Tentu saja kata-kataku ini membuat mereka penasaran.
“Boleh ngapain Kak Intan?” sergah Ai tidak sabar.
“Boleh nyusu sama Kakak, kalian mau nggak..?” tanyaku walau sebenarnya aku sangat tau jawaban mereka.
“Ee.. ma.. u…!!” jawab Adi.
“Mau banget ding Kak…!!” sahut Ai setuju dengan temannya.
Jawaban mereka membuat aku semakin bergairah dan terangsang. Aku berpikiran hari ini aku akan mendapatkan sensasi dari anak-anak ini. Aku memang sudah pernah merasakan kenikmatan juga dari dua anak jalanan, yang aku sudah ceritakan sebelumnya. Karena itu, aku ingin kembali merasakan sensasi seperti itu. Aku mendekati mereka, kemudian dengan agak tergesa aku melepaskan kaos bagian atasku sehingga kini bagian atas tubuhku sudah tidak tertutup apa-apa lagi. Mata mereka melotot memandangi payudaraku. Tampaknya mereka bingung apa yang harus mereka lakukan.
“Ayo dimulai ding Adik-adik. Kok malah bengong sih?” aku menyadarkan mereka. Kemudian tangan-tangan mereka mulai menggerayangi payudaraku. Aku menjadi geli melihat tingkah mereka.
“Jangan rebutan ding! Aaaaah.. Ai yang ki.. ri… Adi yang kanan…” perintahku.
Birahiku semakin meninggi, sementara Ai sudah mulai mendekatkan bibirnya ke putingku, Adi masih membelai sambil dipilin-pilin putingku. Lalu Adi mulai mengisap-isap putingku juga. Betapa seakan perasaanku melayang ke awan, apalagi ketika mereka berdua mengisap secara bersamaan nafasku menjadi tersengal. Tanganku membelai kadang agak sedikit menjambak sambil menekan kepala mereka agar lebih dalam lagi menikmati payudaraku. Mereka semakin menikmati mainan mereka aku semakin terhanyut, aku ingin lebih dari hanya ini. Aku semakin lupa. Ketika baru nikmat-nikmatnya tiba- tiba Adi melepaskan isapannya sambil berkata
“Kak Intan kok nggak keluar air susunya?” Aku kaget harus menjawab apa akhirnya aku menjawab seenaknya
“Kakak kan belum nikah, terus belum punya anak. Jadi belum keluar air susunya…”
“Oh gitu ya Kak…?” Adi langsung mengerti. Ai tidak menggubris, dia semakin lahap menikmati buah dadaku. Akhirnya aku ingin lebih dari sekedar itu.
“Ai… Adi.. Ber.. henti dulu…” aku meminta.
“Ada apa Kak Intan?” Ai bertanya.
“Kita ke kamar saja yuk! Di sini posisinya nggak enak” jawabku.
Kemudian aku berdiri menuju ke kamarku. Tentu saja mata mereka menatap tubuhku yang hanya ditutupi oleh celana pendek ketatku.
“Ayo ikut Kakak…” aku mengajak. Seperti kerbau dicocok hidungnya mereka mengikuti diriku. Sampai di dalam kamar aku duduk di sisi ranjang.
“Gan.. Adi.. lepas saja seragam kalian…” pintaku.
“Tapi Kak Intan…” Adi masih agak ragu.
“Sudahlah turuti saja…” aku menyahut.
Dengan malu-malu mereka mulai melepas baju dan celana seragam mereka. Tampaklah penis dari anak-anak itu sudah tampak tegang. Rambut kemaluan mereka tampak belum tumbuh sama sekali, sedang batang kemaluannya masih agak kecil. Namun melihat pemandangan ini libidiku semakin naik tinggi.
“Kak Intan curang!” Adi berkata.
“Curang bagaimana?” aku bertanya.
“Kak Intan nggak melepas celananya!?” Adi menjawab.
Gila anak ini, cepat sekali dewasanya. Aku tersenyum, kemudian bangkit dari dudukku. Celana pendek berikut celana dalamku aku lepaskan. Sekarang kami bertiga telanjang bulat tanpa sehelai benangpun. Tatapan mereka tertuju pada benda yang ada dibawah pusarku. Vaginaku yang masih rapat dan tanpa ditumbuhi bulu menarik perhatian mereka. Aku duduk kembali di ranjang lalu menaikkan kakiku dan mengangkangkannya. Vaginaku terbuka lebar dan tentu saja terlihat isi-isinya. Mereka mendekat dan melihat vaginaku dengan wajah penasaran.
“Ini namanya vagina, lain dengan punya kalian…” aku menerangkan ke mereka layaknya seorang guru biologi.
“Kalian lahir dari sini…” aku melanjutkan. Tangan mereka mulai mengelus-elus bibir kemaluanku.
Sentuhan ini nikmat sekali. Jari Ai masuk ke lobang vaginaku dan bermain-main di dalamnya. Cairan-cairan tampak semakin membanjiri liang vaginaku. Sementara jari Adi kelihatannya lebih tertarik dengan kemulusan pahaku. Tangan Adi semakin berani untuk mengelus-elus pahaku. Aku biarkan kenikmatan ini berlangsung.
“Aaa.. duh… Eee.. nak.. sekali! Nik.. mat… Terr.. us…” aku merintih.
Anak-anak ini agak lama memainkan vagina beserta pahaku. Sungguh mereka memberiku kenikmatan yang hebat. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku tanpa bisa berkata-kata hanya rintihan dan nafas yang tersengal-sengal. Akhirnya aku mendirong mereka aku bangkit dan menghampiri mereka yang berdiri di tepi ranjang. Aku berjongkok dihadapan mereka sambil kedua tanganku memegang diiringi dengan remasan- remasan kecil pada penis mereka. Aku mendekatkan wajahku pada penis Ai, kemudian aku kulum dan jilati kepala penis muda ini. Tampak kedua lutut Ai tergetar. Aku masukkan seluruh batang penis itu kedalam mulutku dan aku membuat gerakan maju mundur. Tangan Ai mencengkeram erat kepalaku. Sementara tanganku yang satu mengocok-kocok kontol Adi.
“Kak Intanaa.. Akuuu.. ma.. u.. ken.. cing…” Ai merintih. Tampaknya anak ini akan orgasme, tentu aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi karena aku masih ingin permainan ini berlanjut. Kemudian aku beralih pada penis Adi. Tampak penis ini agak lebih besar dari kepunyaan Ai. Aku mulai jilati dari pangkal sampai pada ujungnya, lidahku menari di kepala penis Adi. Aku tusuk- tusuk kecil lobang kencing Adi kemudian aku masukkan seluruh batang penis Adi. Jambakan rambut Adi kencang sekali ketika aku semakin mempercepat kulumanku.
“Kaaakkk.. a.. ku.. ju.. ga.. mo.. ken.. cing.. nih…” Adi merintih. Aku hentikan kulumanku pada penis mereka, kemudian aku bangkit dan naik ke atas ranjang lalu aku kangkangkan kakiku lebar- lebar sehingga vaginaku terbuka lebar.
“Siapa duluan yang mau tititnya dimasukkan ke sini?” aku berkata sambil tanganku menunjuk ke lubang vaginaku yang sudah nampak basah kuyup. Mereka berpandangan, tampaknya membuat persetujuan. Dan akhirnya Ai duluan yang akan menusukku. Ai naik ke atas ranjang dan mengangkangiku tampak penis yang tegang mengkilat siap menusuk lubang vagina wanita yang pantas menjadi kakaknya. Aku tuntun penis Ai masuk ke lubang kenikmatanku. Aku membiarkan pria muda ini melepas keperjakaannya oleh vaginaku. Dan ‘bless’, batang penis Ai amblas ke dalam vaginaku.
“Aaaah Say…” aku mendesis.
“Masukkan.. Le.. bih.. da.. lam lagi.. dan genjot..” aku memberi perintah.
“Iyaaaa.. Kak Intan!! Eee.. naak.. bangeeeettt…” Ai berkata.
Aku hanya bisa mendesah sambil menggigit bibir bagian bawahku. Tampaknya Ai cepat memahami perkataanku dia memompa wanita yang lebih dewasa yang ada dibawahnya dengan seksama. Genjotannya semakin lama semakin cepat. Adi yang menunggu giliran hanya tertegun dengan permainan kami. Genjotan Ai kian cepat aku imbangi dengan goyanganku. Dan tampaknya hal ini membuat Ai tidak kuat lagi menahan sperma yang akan keluar. Dan akhirnya .
“Akuuu.. mau.. ken.. cing.. la.. gi! Udah gak.. ta.. han.. la.. gi..” Ai setengah berteriak.
Kakiku aku lipat menahan pantat Ai. Dia merangkul erat tubuhku dan ‘creet.. creet…’ cairan hangat membanjiri liang kewanitaanku. Ai terkulai lemas diatas tubuhku, butiran-butiran keringat keluar dari sekujur tubuhnya.
“Enaaaak bangeettt Kak….” Ai berkata penuh kepuasan.
“Iya… tapi sekarang gantian Adi ding…” aku berkata. Ai mencabut penisnya yang sudah agak mengempis dan terkapar lemas disampingku.
“Adi sekarang giliranmu yah…” aku berkata kepada Adi .
“Kamu tusuk Kakak dari belakang ya…” aku memberi arahan kepadanya. Kemudian aku mengambil posisi menungging sehingga vaginaku pada posisi yang menantang. Adi naik ke atas ranjang dan bersiap menusuk dari belakang. Dan penis anak yang kedua memasuki lobang kenikmatanku yang seharusnya belum boleh dia rasakan seiring dengan melayangnya keperjakaan dia. Tampaknya Adi sudah agak bisa menggerakkan tubuhnya dengan benar dari dia melihat permainan Ai. Adi menggerakkan maju mundur pantatnya. Aku sambut dengan goyangan erotisku. Semakin lama gerakan Adi tidak teratur semakin cepat dan tampaknya puncak kenikmatan akan segera diraih oleh anak ini.
“Enaaaaaaaaaaak Kak…” Adi berteriak nikmat. Dan akhirnya dengan memeluk erat tubuhku dari belakang sambil meremas susuku Adi mengeluarkan spermanya. Lubang vaginaku terasa hangat setelah diisi sperma kedua anak ini. Adi juga terkapar disampingku. Dua anak ini terkapar lemas setelah memasuki dunia kenikmatan. Walaupun aku belum sempat orgasme, namun sensasi yang aku dapatkan cukup membuat aku puas. Aku bangkit dan berjalan ke dapur tanpa berpakaian untuk membuatkan sirup dingin, agar tenaga mereka pulih. Setelah berpakaian dan selesai minum mereka minta ijin untuk pulang.
“Ai, Adi kalian boleh pulang tapi jangan cerita kepada siapa-siapa tentang semua ini, kalian boleh minta lagi kapan saja asal waktu dan tempat memungkinkan…” aku berkata kemudian mencium bibir kedua anak itu.
“Iya Kak…!” sahut mereka hampir bersamaan.
Setelah mereka berdua pergi, satu sisi diriku bertanya-tanya, mengapa aku bisa bertindak seperti ini. Namun sisi lain diriku merasa puas karena berhasil menggoda dua orang anak yang masih polos. Aku juga sangat menikmati menggunakan tubuhku untuk merangsang dan menguasai kedua anak tersebut. Aku juga senang bisa membuat keduanya lepas kendali dan jatuh dalam pelukan birahi. Namun sampai saat ini, aku tidak pernah melihat keberadaan mereka lagi. Tapi aku juga tidak akan pernah lupa dengan mereka. Karena kedua anak itu dapat memberikan kepuasan dan sensasi yang berbeda.